I. PENDAHULUAN
I.1. Latar
Belakang
Populasi adalah suatu kelompok
individu sejenis yang hidup pada suatu daerah tertentu. Genetik populasi adalah cabang dari ilmu genetika yang mempelajari gen-gen dalam populasi dan menguraikannya secara matematik akibat dari keturunan pada tingkat populasi. Suatu populasi dikatakan seimbang apabila frekuensi gen dan frekuensi genetik berada dalam keadaan tetap dari setiap generasi (Suryo 1994: 344)
Pola pewarisan suatu sifat tidak
selalu dapat dipelajari melalui percobaan persilangan buatan. Pada tanaman
keras atau hewan-hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu
persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah kurun
waktu yang sangat lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola pewarisan sifat
tertentu pada manusia jelas tidak mungkin dilakukan percobaan persilangan. Pola
pewarisan sifat pada organisme-organisme semacam itu harus dianalisis
menggunakan data hasil pengamatan langsung pada populasi yang ada.
Seluk-beluk pewarisan sifat pada
tingkat populasi dipelajari pada cabang genetika yang disebut genetika
populasi. Ruang lingkup genetika populasi secara garis besar oleh beberapa
penulis dikatakan terdiri atas dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip
Mendel pada tingkat populasi, dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif.
Untuk mempelajari pola pewarisan
sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami pengertian populasi
dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi
mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara
seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka
terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan memberikan
kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan
informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi
mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan
juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai contoh, di dalam
populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka,
proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan
genetik populasi tempat mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase
genotipe tersebut dikenal dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi
genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi atau persentase genotipe tertentu di
dalam suatu populasi.
Dengan perkataan lain, dapat juga
didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu
di dalam suatu populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh
di atas jika banyaknya genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20
individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30 (30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa =
0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan
jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi dapat juga dideskripsi atas
dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika, seperti
telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan
individu yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen
dari generasi ke generasi. Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua
(parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi genotipe keturunannya
melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet yang
terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan
(kontinyuitas).
Dengan demikian, deskripsi susunan
genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di dalamnya sebenarnya
justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya.
I.2. Tujuan
dan Kegunaan
DNA
Penggunaan
di bidang biologis berupa Replikasi yang merupakan proses pelipatgandaan DNA. Proses replikasi ini diperlukan
ketika sel akan membelah diri. Pada setiap
sel, kecuali sel gamet, pembelahan diri harus
disertai dengan replikasi DNA supaya semua sel turunan memiliki informasi
genetik yang sama. Pada dasarnya, proses replikasi memanfaatkan fakta bahwa DNA
terdiri dari dua rantai dan rantai yang satu merupakan "konjugat" dari
rantai pasangannya. Dengan kata lain, dengan mengetahui susunan satu rantai,
maka susunan rantai pasangan dapat dengan mudah dibentuk. Ada beberapa teori
yang mencoba menjelaskan bagaimana proses replikasi DNA ini terjadi. Salah satu
teori yang paling populer menyatakan bahwa pada masing-masing DNA baru yang
diperoleh pada akhir proses replikasi; satu rantai tunggal merupakan rantai DNA
dari rantai DNA sebelumnya, sedangkan rantai pasangannya merupakan rantai yang
baru disintesis. Rantai tunggal yang diperoleh dari DNA sebelumnya tersebut
bertindak sebagai "cetakan" untuk membuat rantai pasangannya.
PCR
Metode pendektesian cepat dengan
menggunakan teknik PCR mampu menghasilkan analisa keberadaan bakteri patogen
lebih cepat dibandingkan dengan metode cawan . Hasil yang diperoleh pun lebih
akurat karena level deteksinya adalah DNA spesifik dari bakteri patogen
tersebut.
PCR merupakan suatu teknik atau
metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan
organisme. Dengan teknik ini, orang dapat menghasilkan DNA dalam jumlah besar
dalam waktu singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan
DNA.
ELISA
Teknik ELISA ini digunakan dalam bidang imunologi (ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi
antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut
ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai pelapor/
reporter/ signal, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan
suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik,
teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur
kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa
spektrofotometer atau dengan cara menentukan jumlah penambahan atau kadar antibodi
atau antigen, sehingga dapat dibuat suatu kurva standar dan kadar antigen atau
antibodi yang tidak diketahui dapat ditentukan.
II. METODOLOGI PRAKTIKUM
II.1. Alat dan Bahan
PCR
Peralatan yang digunakan adalah
sentrifuse, mesin thermo cycle, elektroforesis set, mikro pipet ukuran 1000µ,
200µ dan 10µ beserta tipnya, effendrof. Sedangkan
bahan uji yang digunakan dimisalkan adalah udang
stadia PL3, uropoda, insang, hepatopankreas, kaki renang dan genom bakteri
vibrio asal Sulawesi.
Bahan-bahan yang digunakan adalah
regent-reagent yang digunakan untuk proses ekstraksi DNA antara lain EDTA, SDS,
Proteinase-K, NaCl 5 M, CTAB, phenol-chlorofom-isoamilalkohol,
chloroform-isosmilslkohol dan isopropanol. Sedangkan bahan yang digunakan pada
proses PCR adalah master mix, primer, kontrol positif, kontrol negatif dan mix
kontrol.
ELISA
Alat paling
utama yang digunakan dalam teknik ELISA adalah microtiter. Microtiter ini
berupa suatu papan plastik dengan cekungan sebanyak 96 buah (8 cekungan ke arah
bawah dan 12 cekungan ke samping). Microtiter ini terbuat dari bahan
polistirena. Cekungan dari microtiter memiliki tinggi sekitar 1 cm dan diameter
0,7 cm. Berikut ini adalah gambarnya:
Selain itu, alat
dan bahan lain yang umum digunakan dalam teknik ELISA antara lain:
Ø Antigen yang dimurnikan (jika sampel yang hendak dideteksi atau
dikuantifikasi berupa antibodi).
Ø Antibodi yang dimurnikan (jika sampel yang hendak dideteksi atau
dikuantifikasi berupa antigen).
Ø Larutan standard (kontrol positif dan negatif).
Ø Sampel yang ingin dites
Ø Antibodi atau
antigen yang tertaut dengan enzim signal.
o Substrat yang bersifat spesifik terhadap enzim signal.
Ø Cairan pencuci
(buffer).
II.2. Prosedur Kerja
PCR
Secara prinsip, PCR merupakan proses
yang diulang-ulang antara 20–30 kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga
tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya PCR dalam satu siklus:
1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada
tahap ini (berlangsung pada suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA
terputus (denaturasi) dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap
awal PCR tahap ini dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua
berkas DNA terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap
menjadi templat ("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap
penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang
komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60 °C.
Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak
terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi tahap
ini 1–2 menit.
3. Tahap
pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari jenis DNA polimerase (ditunjukkan oleh P pada gambar)
yang dipakai. Dengan Taq-polimerase,
proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1
menit.
Lepas tahap 3, siklus diulang
kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa berkas baru
(berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat berkas DNA
yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan
berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.
ELISA
Pendeteksian antibodi dengan ELISA
indirect:
1.
Melapisi mikrotiter plate dengan
antigen yang sudah dimurnikan denganmembiarkan larutan berisi antigen menempel
pada dinding/ permukaan selama 30-60 menit.
2.
Membilas antigen yang tidak
terikat dengan buffer
3.
Melapisi sisi-sisi tertentu yang
mungkin tidak spesifik dilekati oleh antigen dengan protein yang tidak
berhubungan/ tidak spesifik (seperti larutan susu bubuk),
4. Membilas protein yang tidak melekat.
5. Menambahkan sampel serum yang akan dideteksi antibodinya dan membiarkan antibodi spesifik untuk berikatan dengan antigen.
6. Membilas antibodi yang tidak terikat.
7. Menambahkan anti-Ig yang akan berikatan pada daerah Fc pada antibody yang pesifik
(sebagai contoh, anti-rantai gamma manusia yang berikatan dengan IgG manusia).
Daerah Fc pada anti-Ig akan berikatan secara kovalen dengan enzim.
8. Membilas kompleks antibodi-enzim yang tidak terikat.
9. Menambahkan substrat chromogenic: substrat yang tidak berwarna yang terikat
ke enzim akan dikonversi menjadi produk.
10. Inkubasi sampai muncul warna dan
11. ukur dengan spektrofotometer. Jika semakin pekat warna yang terdeteksi, maka makin besar kadar antibodi spesifik dalam sampel.
Pendeteksian
antigen dengan ELISA sandwich:
1. Melapisi mikrotiter plate dengan antibodi yang sudah dimurnikan dengan
membiarkan larutan berisi antibodi menempel pada dinding/ permukaan selama
30-60 menit.
2. Membilas antibodi (yang tidak terikat) dengan buffer
3.
Melapisi sisi-sisi tertentu yang
mungkin tidak spesifik dilekati oleh antigen dengan protein yang tidak
berhubungan/ tidak spesifik (seperti larutan susu bubuk),
4. Membilas protein yang tidak melekat.
5. Menambahkan sampel yang akan dideteksi antigennya dan membiarkan antibody untuk berikatan dengan antigen spesifik dari simpel.
6. Membilas antigen yang tidak terikat.
7. Menambahkan antibody yang telah terlabeli dengan enzim dan bersifat
spesifik untuk epitop yang berbeda pada antigen sampel, sehingga terbentuk sandwich.
8. Membilas antibodi-enzim yang tidak terikat.
9. Menambahkan substrat chromogenic: substrat yang tidak berwarna yang terikat
ke enzim akan dikonversi menjadi produk.
10. Inkubasi sampai muncul warna.
11. Ukur dengan spektrofotometer. Jika semakin pekat warna yang terdeteksi,
maka makin besar kadar antigen spesifik dalam sampel.
III. PEMBAHASAN
PCR
Tahapan yang dilakukan untuk
mendeteksi penyakit vibriosis dengan metode PCR terdiri dari tiga tahapan.
Tahapan pertama yaitu ekstraksi DNA, perbanyakan genom yang telah diekstraksi
dengan mesin thermo cycle. Selanjutnya tahapan terakhir yaitu pembacaan hasil
dari ekspresi genom yang telah teramplifikasi dengan metode elektroforesis dan
difoto secara digital. Tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut :
o Ekstraksi
DNA
Ekstraksi DNA diambil dari sampel dengan berat 50-150 mg yang direndam
dengan 250µl Buffer TE. Selnjutnya sampel diinkubasi selama 1-3 jam dengan suhu
55˚C pada larutan yang terdiri dari 500µl Buffer lysis, 20µl proteinase-K dan
40µl SDS 10%. Setelah inkubasi ditambahkan 12.5µl RNAase dan selanjutnya
diinkubasi pada suhu ruang selama 15-30 menit. Setelah diinkubasi ditambahkan
PCIA dengan perbandingan larutan 25:24:1 kemudian divorteks secara manual
sampai homogen dan dinkubasikan kembali pada suhu ruang selama 10 menit.
Selanjutnya disentrifuse pada kecepatan13.000 rpm selama 8 menit. Supernatant
yang terbentuk kemudian diambil dan dipindahkan ke tabung effendrof yang baru
kemudian dicampur dengan 300µl larutan CIA dengan perbandingan 24:1 kemudian
disentrifuse lagi pada kecepatan 13.000 rpm selama 4 menit. Supernatant teratas
diambil dan dipindahkan ke effendrof baru sebanyak 200µl kemudian dicampur
dengan 400µl ethanol absolute dingin dan dihomogenkan. Selanjutnya disentrifuse
dengan kecepatan 6000 rpm selama 30 menit. Supernatant yang terbentuk dibuang
dan pellet dibilas dengan 1ml etanol 70% kemudian disentrifuse kembali pada
kecepatan 6000 rpm selama 15 menit. Pellet yang terbentuk dikeringanginkan
selanjutnya disimpan pada suhu -20˚C setelah dilarutkan dengan 100µl Buffer TE.
o Amplifikasi
Genom
Persiapan awal sebelum mengamplifikasi genom adalah pembuatan master mix
(MM). Volume MM yang dibuat disesuaikan dengan jumlah sampel ditambah dengan
kontrol. Karena jumlah sampel dan kontrol ada 9 maka tiap-tiap bahan penyusun
MM dikalikan 9. Akan tetapi pada praktikum ini jumlah total MM merupakan hasil
kali dari 9 sampel + 1 cadangan sehingga faktor pengkali MM adalah 10. Hal ini
bertujuan untuk menghindari kekurangan MM pada saat proses pipetting. Setelah
MM siap, masukkan template sebanyak 0,5µl ke dalam tabung PCR yang telah diberi
kode dan diisi dengan MM masing-masing 24,3 µl/tabung. Setelah semuanya siap,
masing-masing tabung dimasukkan pada mesin PCR yang telah diatur suhunya sesuai
dengan primer yang digunakan.
o Pembacaan
Hasil PCR dengan Elektroforesis Gel Agarosa.
Setelah proses PCR selesai selanjutnya dilakukan pembacaan hasil dengan
eletroforesis gel agarosa. Sebelum melakukan elektroforesis tahapan awal yang
dilakukan adalah membuat gel agarosa itu sendiri. Pembuatannya dilakukan dengan
cara melarutkan agarosa dalam larutan TBE (Tris base, Boric acid, EDTA) atau
TAE (Tris base, Glacial acetic acid, EDTA) yang dipanaskan sampai mendidih
selama 1.5 menit dan larutan hasil menjadi bening. Setelah suhu agar turun
(50-60˚C) kemudian dicetak dengan cetakan khusus yang dilengkapi sisir sebagai
cetakan sumur elektroforesis. Selanjutnya gel dibiarkan beku, kemudian
dimasukkan ke dalam bak elektroforesis yang telah berisi larutan buffer
elektroforesis. Tahapan kedua pada persiapan awal elektroforesis adalah membuat
pemberat atau loading dye (LD). Bahan pemberat ini terdiri dari bahan pemberat
DNA dan pewarna (bromphenol blue, xylene cyanol, gliserol dan EDTA).
Selanjutnya sampel DNA uji dicampur dengan 2-5µl LD kemudian dihomogenkan dan
dimasukkan pada sumur elektroforesis. Setelah sumur terisi dengan sampel dan
kontrol, marker DNA disisipkan pada sumur pertama. Kemudian bak elektroforesis
dialirkan dengan listrik yang bertegangan 250 volt dengan kuat arus antara 80-100
mA. Proses elektroforesis dihentikan apabila ¾ bagian dari panjang gel DNA
bermigrasi dari kutub negatif ke kutub positif. Setelah itu gel diangkat dan
diamati dengan menggunakan ultraviolet transluminator dengan panjang gelombang
pendek yaitu 280nm. Dokumentasi dilakukan dengan kamera yang telah terhubung
komputer.
Menurut Chainulfiffah. A, D. S.
Retnoningrum. (2003), Teknik sintesis dan amplifikasi fragmen DNA secara in
vitro yang dikenal dengan Polymerase chain reaction (PCR) merupakan salah satu
metode untuk mengidentifikasi penyakit infeksi yang baru-baru ini banyak
dikembangkan. Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan metode diagnosis
konvensional seperti imunologi dan mikrobiologi.
Teknik PCR didasarkan pada
amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana terjadi penggandaan jumlah molekul DNA
pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat.
Teknik ini sangat ideal untuk mengidentifikasi patogen dengan cepat dan akurat.
Secara umum proses ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap yang berurutan
yaitu denaturasi templat, annealing (penempelan) pasangan primer pada untai
tunggal DNA target dan extension (pemanjangan atau polimerisasi), sehingga
diperoleh amplifikasi DNA antara 106-109 kali (Retnoningrum 1997).
PCR terdiri atas beberapa siklus
yang berulang-ulang, biasanya 20 sampai 40 siklus. Pada setiap siklus DNA
polymerase akan menggandakan DNA sebanyak 2 kali, maka secara matematis salinan
utas ganda DNA yang akan dihasilkan setelah 30 siklus adalah 2 pangkat 30 yaitu
1.073.741.824 kali, seperti terlihat pada gambar disamping.
Setiap siklus terdiri dari tiga
tahap seperti tersaji pada gambar dibawah, yaitu :
Pertama, tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Berlangsung pada suhu
tinggi, 94–96°C yang menyebabkan ikatan hidrogen DNA terputus atau denaturasi
dan DNA menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini
dilakukan agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA
terpisah. Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat
("patokan") bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit. Tahap Kedua,
penempelan atauannealing. Primer menempel pada bagian DNA templat yang
komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–60°C. Penempelan
ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan tidak terjadinya
penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Sedangkan tahap ketiga
yaitu tahap pemanjangan atau elongasi. Enzim yang berperan adalah
Taq-polimerase, proses ini biasanya dilakukan pada suhu 76°C selama 1 menit.
Setelah tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1.
Ekstraksi DNA adalah langkah pertama
yang sangat penting dalam langkah- langkah kerja analisis DNA sequencing.
Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode fenol/khloroform/isoamilalkohol.
Metode tersebut mampu menghasilkan lapisan air yang mengandung asam nukleat dan
lapisan antara fenol sedangkan air yang berisi protein penghambat dan polimer
(termasuk karbohidrat), dan lapisan khloroform-isoamilalkohol yang mengikat
lemak. mengalami presipitasi.
ELISA
Secara umum, teknik ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu teknik
ELISA kompetitif yang menggunakan
konjugat antigen-enzim atau konjugat
antibodi-enzim, dan teknik ELISA
nonkompetitif yang menggunakan dua antibodi (primer dan sekunder). Pada teknik
ELISA nonkompetitif, antibodi kedua (sekunder) akan dikonjugasikan dengan enzim
yang berfungsi sebagai signal.
Teknik ELISA
nonkompetitif ini seringkali disebut sebagai teknik ELISA sandwich. Dewasa ini, teknik ELISA telah berkembang menjadi
berbagai macam jenis teknik. Perkembangan ini didasari pada tujuan dari
dilakukannya uji dengan teknik ELISA tersebut sehingga dapat diperoleh hasil
yang optimal. Berikut ini adalah penjelasan teknik ELISA yang relatif sering digunakan, yaitu :
ELISA Indirect
Teknik ELISA indirect ini pada
dasarnya juga merupakan teknik ELISA
yang paling sederhana, hanya saja
dalam teknik ELISA indirect yang dideteksi dan diukur konsentrasinya merupakan
antibodi. ELISA indirect menggunakan suatu antigen spesifik (monoklonal) serta
antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal untuk mendeteksi keberadaan
antibodi yang diinginkan pada sampel yang diuji.
Pada ELISA
indirect, pertama microtiter diisi dengan larutan yang mengandung antigen
spesifik, sehingga antigen spesifik tersebut dapat menempel pada bagian dinding lubang microtiter. Selanjutnya microtiter
dibilas untuk membuang antigen yang tidak menempel pada dinding lubang
microtiter. Kemudian larutan sampel yang mengandung antibodi yang diinginkan
dimasukkan ke dalam lubang-lubang microtiter, sehingga terjadi interaksi antara
antigen spesifik dengan antibodi yang diinginkan.
Selanjutnya,
microtiter kembali dibilas untuk membuang antibodi yang tidak berinteraksi
dengan antigen spesifik. Lalu, ke dalam lubang microtiter dimasukkan larutan
yang berisi antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal, sehingga pada
lubang microtiter tersebut terjadi interaksi antara antibodi yang diinginkan
dengan antibodi sekunder spesifik tertaut enzim signal. Selanjutnya microtiter
dibilas lagi untuk membuang antibodi sekunder tertaut enzim signal yang tidak
berinteraksi dengan antibodi spesifik.
Kemudian pada
tahap akhir ELISA indirect, ditambahkan substrat yang dapat bereaksi dengan
enzim signal, lalu enzim yang tertaut dengan antibodi sekunder spesifik yang
telah berinteraksi dengan antibodi yang diinginkan akan bereaksi dengan
substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi.
ELISA indirect memiliki beberapa
kelemahan, antara lain:
ü Membutuhkan waktu pengujian yang relatif lebih lama daripada ELISA direct
karena pada ELISA indirect membutuhkan 2 kali waktu inkubasi yaitu pada
saat terjadi interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang
diinginkan dan antara antibodi yang diinginkan dengan antibodi sekunder tertaut
enzim signal, sedangkan pada ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu
inkubasi yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen yang diinginkan
dengan antibodi spesifik tertaut enzim signal.
Sedangkan kelebihan dari ELISA
indirect, antara lain:
ü Terdapat berbagai macam variasi antibodi sekunder yang terjual secara komersial
di pasar.
ü Immunoreaktivitas dari antibodi yang diinginkan (target) tidakterpengaruh
oleh penautan enzim signal ke antibodi sekunder karena penautan dilakukan pada
wadah berbeda.
ü Tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibodi yang diinginkan memiliki beberapa epitop yang bisa berinteraksi dengan antibodi sekunder.
ELISA Sandwich
Teknik ELISA
jenis ini menggunakan antibodi primer spesifik untuk
menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi sekunder tertaut enzim signal
untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich mirip dengan ELISA direct, hanya
saja pada ELISA sandwich, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu
dipurifikasi. Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus dapat
berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi sekunder spesifik
tertaut enzim signal, maka teknik ELISA sandwich ini cenderung dikhususkan pada
antigen memiliki minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi dengan antibodi) atau
antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein.
Pada ELISA
sandwich, antibodi primer seringkali disebut sebagai antibodi penangkap,
sedangkan antibodi sekunder seringkali disebut sebagai antibodi deteksi. Dalam
pengaplikasiannya, ELISA sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
keberadaan antigen multivalent yang kadarnya sangat rendah pada suatu larutan
dengan tingkat kontaminasi tinggi. Hal ini disebabkan ELISA sandwich memiliki
tingkat sensitivitas tinggi terhadap antigen yang diinginkan akibat keharusan
dari antigen tersebut untuk berinteraksi dengan kedua antibodi.
Pada ELISA
sandwich, pertama microtiter diisi dengan larutan yang
mengandung antibodi penangkap,
sehingga antibodi penangkap tersebut dapat
menempel pada bagian dinding
lubang microtiter. Selanjutnya microtiter dibilas untuk membuang antibodi penangkap yang tidak menempel pada dinding lubang microtiter. Kemudian larutan sampel yang mengandung antigen yang diinginkan
dimasukkan ke dalam lubang-lubang microtiter, sehingga terjadi interaksi antara
antibodi penangkap dengan antigen yang diinginkan. Selanjutnya, microtiter
kembali dibilas untuk membuang antigen yang tidak berinteraksi dengan antibodi
penangkap. Lalu, kedalam lubang microtiter dimasukkan larutan yang berisi
antibodi detektor, sehingga pada lubang microtiter tersebut terjadi interaksi
antara antigen yang diinginkan dengan antibodi detektor. Selanjutnya microtiter
dibilas lagi untuk membuang antibodi detektor yang tidak berinteraksi dengan
antibodi spesifik. Kemudian pada tahap akhir ELISA indirect, ditambahkan
substrat yang dapat bereaksi dengan enzim signal, lalu enzim yang tertaut pada
antibodi detektor yang telah berinteraksi dengan antigen yang diinginkan akan
bereaksi dengan substrat dan menimbulkan signal yang dapat dideteksi.
Dalam ELISA
sandwich, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas dari
hasil pengujian, antara lain:
o Banyak molekul antibodi penangkap yang berhasil menempel pada dinding lubang microtiter.
o Afinitas dari antibodi penangkap dan antibodi detektor terhadap antigen.
Sebenarnya, teknik ELISA sandwich ini merupakan pengembangan dari teknik
ELISA terdahulu, yaitu ELISA direct. Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada
dasarnya berada pada tingkat spesitifitasnya yang relatif lebih tinggi karena
antigen yang diinginkan harus dapat berinteraksi dengan 2 jenis antibodi, yaitu
antibodi penangkap dan antibodi detektor. Namun demikian, teknik ELISA sandwich
ini juga memiliki kelemahan, yaitu teknik ini hanya dapat diaplikasikan untuk
mendeteksi antigen yang bersifat multivalent serta sulitnya mencari dua jenis
antibodi yang dapat berinteraksi antigen yang sama pada sisi antigenic yang
berbeda (epitopnya harus berbeda).
IV. KESIMPULAN
Polymerase Chain Reaction (PCR)
adalah teknik yang paling umum digunakan oleh para peneliti bidang Biologi
molekuler dan Genetika. Prinsip umum kerja PCR adalah menggandakan potongan DNA
tertentu dengan bantuan enzim. Sejak ditemukan pertama kali mesin PCR (nama
lainnya Thermal Cycler) oleh Karry Mullis pada tahun 1984, kini hampir semua
kegiatan di bidang biologi molekuler, genetika, kedokteran hingga forensik
tidak lepas dari PCR.
Prinsip kerja PCR adalah
menggandakan potongan DNA tertentu dari seluruh untaian DNA, baik yang berasal
dari DNA sel inti (nukleus) maupun organel sel seperti DNA mitokondria (mtDNA)
atau Ribosom (rDNA). Untuk mendapat potongan DNA, diperlukan Primer yang
berfungsi untuk menandai dimana ujung DNA yang akan digandakan. Primer biasanya
berpasangan, yaitu Primer forward untuk menandai ujung depan untai DNA
dan Primer Reverse untuk menandai dari ujung belakang. Karena DNA
terdiri dari 2 untai pilinan ganda (double strand), maka DNA Primer forward
bekerja pada strand yang satu sementara Primer Reverse bekerja pada
untai pilinan yang satunya.
ELISA (singkatan bahasa Inggris: Enzyme-linked immunosorbent assay)
atau 'penetapan kadar imunosorben taut-enzim' merupakan uji serologis yang umum digunakan di berbagai
laboratorium imunologi. Uji ini memiliki
beberapa keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis,
dan memiliki sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun
1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan antibodi
di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim
sebagai pelapor (reporter label).
Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim
atau konjugat antobodi–enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan
dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan
dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali
disebut sebagai "Sandwich" ELISA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar